Definisi & Proses Homoseksual
Di Indonesia, data statistik menunjukkan
8-10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu terlibat pengalaman
homoseksual. Dari jumlah ini, sebagian dalam jumlah bermakna terus
melakukannya. (Kompas Cyber Media, 2003 1).
Hasil survei YPKN menunjukkan, ada
4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara
memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo.
Angka-angka itu belum termasuk kaum homo di kota-kota besar. Dede
memperkirakan, secara nasional jumlahnya mencapai sekitar 1% dari total
penduduk Indonesia. Dr. Dede Oetomo, adalah "presiden" gay
Indonesia, yang telah 18 tahun mengarungi hidup bersama dengan pasangan homonya, beliau juga seorang "pentolan" Yayasan
Gaya Nusantara. (Gatra, 2003 2)
Data ini menunjukkan eksistensi keberadaan
kaum homoseksual di Indonesia. Homoseksual hingga saat ini masih menjadi
issue yang kontrakdiktif di masyarakat, tidak hanya kontradiktif dalam hal
genealogi nya, akan tetapi sampai pada perdebatan apakah kaum homoseksual bisa
di terima di masyarakat ?
APA SIH HOMOSEKSUAL?
Ketika seseorang menyebutkan homoseksual,
kata-kata homoseksual ini dapat mengacu pada tiga aspek 3:
1.
Orientasi
Seksual / Sexual Orientation
Orientasi seksual - homoseksual yang dimaksud disini
adalah ketertarikan / dorongan / hasrat
untuk terlibat secara seksual dan emosional (ketertarikan yang bersifat
romantis) terhadap orang yang berjenis kelamin sama. American Psychiatric
Association (APA) menyatakan bahwa orientasi seksual berkembang sepanjang hidup
seseorang.
Sebagai informasi
tambahan, dalam taraf tertentu, pada umumnya setiap orang cenderung memiliki
rasa ketertarikan terhadap sesama jenis. Seperti misalnya saja: pria yang
mengidolakan aktor / musisi / tokoh pria tertentu dan juga sebaliknya wanita
yang mengidolakan aktris / musisi / tokoh wanita tertentu. Kadar ketertarikan
seperti ini umum dimiliiki oleh banyak orang dan tidak termasuk dalam orientasi
homoseksual.
2.
Perilaku
Seksual / Sexual Behavior
Homoseksual dilihat
dari aspek ini mengandung pengertian perilaku
seksual yang dilakukan antara dua orang yang berjenis kelamin sama.
Human sexual behavior encompass a wide range of activities such
as strategies to find or attract partners (mating and display behaviour), interactions between
individuals, physical or emotional
intimacy, and sexual contact (Wikipedia 4).
Perilaku
seksual manusia melingkupi aktivitas yang luas seperti strategi untuk menemukan dan
menarik perhatian pasangan (perilaku mencari & menarik pasangan), interaksi
antar individu, kedekatan fisik atau emosional, dan hubungan seksual (Wikipedia).
3.
Identitas
Seksual / Sexual Identity
Sementara
homoseksual jika dilihat dari aspek ini mengarah pada identitas seksual sebagai
gay atau lesbian. Sebutan gay digunakan
pada homoseksual pria, dan sebutan lesbian
digunakan pada homoseksual wanita.
Tidak semua homoseksual secara terbuka
berani menyatakan bahwa dirinya adalah gay
ataupun lesbian terutama kaum
homoseksual yang hidup di tengah-tengah masyarakat / negara yang melarang
keras, mengucilkan, dan menghukum para homoseksual. Para homoseksual ini lebih
memilih untuk menutupi identitas mereka sebagai seorang gay ataupun lesbian dengan
tampil selayaknya kaum heteroseksual.
BAGAIMANA PROSES DAN APA YANG MEMPENGARUHI TERBENTUKNYA HOMOSEKSUAL?
Terdapat tiga garisan besar kemungkinan
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual sebagai berikut:
1.
Biologis
Kombinasi / rangkaian tertentu di dalam
genetik (kromosom), otak , hormon, dan susunan syaraf diperkirakan
mempengaruhi terbentuknya homoseksual.
Deti Riyanti dan Sinly Evan Putra, S.Si 5
mengemukakan bahwa berdasarkan kajian ilmiah, beberapa
faktor penyebab orang menjadi homoseksual dapat dilihat dari :
Susunan
Kromosom
Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari
susunan kromosomnya yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom
x dari ibu dan satu kromosom x dari ayah. Sedangkan pada pria mendapatkan satu
kromosom x dari ibu dan satu kromosom y dari ayah. Kromosom y adalah penentu
seks pria.
Jika terdapat kromosom y, sebanyak apapun kromosom x, dia
tetap berkelamin pria. Seperti yang terjadi pada pria penderita sindrom
Klinefelter yang memiliki tiga kromosom seks yaitu xxy. Dan hal ini dapat
terjadi pada 1 diantara 700 kelahiran bayi. Misalnya pada pria yang mempunyai
kromosom 48xxy. Orang tersebut tetap berjenis kelamin pria, namun pada pria
tersebut mengalami kelainan pada alat kelaminnya.
Ketidakseimbangan Hormon
Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga
mempunyai hormon yang dimiliki oleh wanita yaitu estrogen dan progesteron.
Namun kadar hormon wanita ini sangat sedikit. Tetapi bila seorang pria mempunyai
kadar hormon esterogen dan progesteron yang cukup tinggi pada tubuhnya, maka
hal inilah yang menyebabkan perkembangan seksual seorang pria mendekati
karakteristik wanita.
Struktur Otak
Struktur otak pada straight females dan straight
males serta gay females dan gay males terdapat perbedaan.
Otak bagian kiri dan kanan dari straight males sangat jelas terpisah
dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Straight females, otak antara
bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males,
struktur otaknya sama dengan straight females, serta pada gay females
struktur otaknya sama dengan straight males, dan gay females ini
biasa disebut lesbian.
Kelainan susunan syaraf
Berdasarkan hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa
kelainan susunan syaraf otak dapat mempengaruhi prilaku seks heteroseksual
maupun homoseksual. Kelainan susunan syaraf otak ini disebabkan oleh radang
atau patah tulang dasar tengkorak.
Kaum homoseksual pada umumnya merasa lebih
nyaman menerima penjelasan bahwa faktor biologis-lah yang mempengaruhi mereka
dibandingkan menerima bahwa faktor lingkunganlah yang mempengaruhi. Dengan
menerima bahwa faktor biologis-lah yang berperan dalam membentuk homoseksual
maka dapat dinyatakan bahwa kaum homoseksual memang terlahir sebagai homoseksual,
mereka dipilih sebagai homoseksual dan
bukannya memilih menjadi homoseksual.
Namun sebagai
informasi tambahan pula, faktor - faktor biologis yang mempengaruhi
terbentuknya homoseksual ini masih terus menerus diteliti dan dikaji lebih
lanjut oleh para pakar di bidangnya.
2.
Lingkungan
Lingkungan
diperkirakan turut mempengaruhi terbentuknya homoseksual. Faktor lingkungan
yang diperkirakan dapat mempengaruhi terbentuknya homoseksual terdiri atas berikut:
A. Budaya
/ Adat-istiadat
Dalam budaya dan adat istiadat masyarakat tertentu
terdapat ritual-ritual yang mengandung unsur homoseksualitas, seperti dalam
budaya suku Etoro6 yaitu suku
pedalaman Papua New Guinea, terdapat ritual keyakinan dimana laki-laki muda
harus memakan sperma dari pria yang lebih tua (dewasa) untuk memperoleh status
sebagai pria dewasa dan menjadi dewasa secara benar serta bertumbuh menjadi
pria kuat.
Karena
pada dasarnya budaya dan adat istiadat yang
berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu sedikit banyak
mempengaruhi
pribadi masing-masing orang dalam kelompok masyarakat tersebut, maka
demikian
pula budaya dan adat istiadat yang mengandung unsur homoseksualitas
dapat mempengaruhi seseorang. Mulai dari cara berinteraksi dengan
lingkungan,
nilai-nilai yang dianut, sikap, pandangan, maupun pola pemikiran
tertentu terutama sekaitan dengan orientasi, tindakan, dan identitas
seksual seseorang.
B. Pola
asuh
Cara mengasuh seorang anak juga dapat mempengaruhi
terbentuknya homoseksual. Sejak dini seorang anak telah dikenalkan pada
identitas mereka sebagai seorang pria atau perempuan. Dan pengenalan identitas
diri ini tidak hanya sebatas pada sebutan namun juga pada makna di balik
sebutan pria atau perempuan tersebut, meliputi:
* Kriteria
penampilan fisik : pemakaian baju, penataan rambut, perawatan tubuh yang
sesuai, dsbnya
* Karakteristik
fisik : perbedaan alat kelamin pria dan wanita; pria pada umumnya memiliki
kondisi fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan wanta, pria pada umumnya
tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang mengandalkan tenaga / otot kasar sementara wanita
pada umumnya lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan yang mengandalkan otot halus.
*
Karakteristik
sifat : pria pada umumnya lebih menggunakan logika / pikiran sementara
wanita
pada umumnya cenderung lebih menggunakan perasaan / emosi; pria pada
umumnya lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang membangkitkan adrenalin,
menuntut kekuatan dan kecepatan, sementara wanita lebih menyukai
kegiatan-kegiatan yang bersifat halus, menuntut kesabaran dan
ketelitian.
* Karakteristik
tuntutan dan harapan :
Untuk masyarakat yang menganut sistem
paternalistik maka tuntutan bagi para pria adalah untuk menjadi kepala keluarga
dan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Dengan demikian pria
dituntut untuk menjadi figur yang kuat, tegar, tegas, berani, dan siap
melindungi yang lebih lemah (seperti istri, dan anak-anak). Sementara untuk
masyarakat yang menganut sistem maternalistik maka berlaku sebaliknya bahwa
wanita dituntut untuk menjadi kepala keluarga.
Jika dilihat secara universal, sistem yang diakui universal adalah sistem paternalistik. Namun baik paternalistik maupun
maternalistik, setiap orang tetap dapat berlaku sebagai pria ataupun wanita
sepenuhnya. Yang membedakan pada kepala keluarga: pria dalam paternalistik dan
wanita dalam maternalistik adalah pendekatan yang digunakan dalam memenuhi
tanggung jawab mereka sebagai kepala keluarga.
Pola
asuh yang
tidak tepat, seperti contoh yang tidak asing yaitu: anak laki-laki yang
dikenakan pakaian perempuan, didandani, diberikan mainan boneka, dan
diasuh
seperti layaknya mengasuh seorang perempuan, ataupun sebaliknya dapat
berimplikasi pada terbentuknya identitas homoseksual pada anak tersebut.
Mengapa demikian? Karena sejak dini ia tidak dikenalkan dan dididik
secara tepat & benar akan identitas seksualnya, dan akan perbedaan
yang jelas antara laki-laki dan
perempuan.
C. Figur
orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan lawan jenis
Dalam proses pembentukan identitas seksual,
seorang anak pertama-tama akan melihat pada: orang tua mereka sendiri yang
berjenis kelamin sama dengannya: anak laki-laki melihat pada ayahnya, dan
anak perempuan melihat pada ibunya; dan kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang
berjenis kelamin sama dengannya 7.
Homoseksual terbentuk ketika anak-anak ini gagal
mengidentifikasi dan mengasimilasi - apa, siapa, dan bagaimana - menjadi dan
menjalani peranan sesuai dengan identitas seksual mereka berdasarkan nilai-nilai
universal pria dan wanita.
Kegagalan mengidentifikasi dan mengasimilasi
identitas seksual ini dapat dikarenakan figur yang dilihat dan menjadi
contoh untuknya tidak memerankan peranan identitas seksual mereka sesuai dengan
nilai-nilai universal yang berlaku. Seperti:
ibu yang terlalu mendominasi dan ayah yang tidak memiliki ikatan
emosional dengan anak-anaknya, ayah tampil sebagai figur yang lemah - tak
berdaya; atau orang tua yang homoseksual. Namun penting diketahui!! Tidak semua
anak yang dihadapkan pada situasi demikian akan terbentuk sebagai homoseksual
karena masih ada faktor lain yang juga dapat mempengaruhi dan tentunya juga karena kepribadian dan karakter setiap
orang berbeda-beda.
Pada figur ibu yang terlalu mendominasi dan ayah
yang tak memiliki ikatan emosional dengan anak-anaknya, ayah tampil sebagai
figur yang lemah, homoseksual dapat terbentuk pada anak dengan dinamika
psikologis seperti yang dikemukakan oleh Leila CH Budiman8 sebagai berikut:
Anak seakan kehilangan model untuk menjadi laki-laki dan perempuan
yang heteroseksual (orang yang tertarik secara seksual pada lawan jenisnya).
Dr N Littner, ahli psikoanalisis dari program Child Therapy,
Chicago, mengatakan bahwa ibu seorang homoseksual sikapnya keras, agresif, kelaki-lakian,
atau kekanakan dan tidak efektif, serta sering kali tidak stabil. Dia gagal
dalam menciptakan rasa aman, membina hubungan dekat, dan menumbuhkan keberanian
pada anak-anaknya. Ayah seorang homoseksual sering kali absen secara fisik atau
jauh secara emosional, sering didominasi istrinya karena pasif dan lemah.
Hubungan antara kedua orangtua tidak dekat, sering kali disertai rasa benci,
dimana istri merendahkan suaminya yang lemah dan tidak efektif.
Dalam suasana demikian, anak perempuan maupun anak laki-laki
menjadi bingung dan kehilangan model jenisnya sendiri yang diterima
masyarakatnya. Anak perempuan kehilangan identitas femininnya dan tumbuh
menjadi kelaki-lakian, keras, dan agresif. Karena kelaki-lakiannya dia juga
jadi berminat secara seksual pada perempuan, jenisnya sendiri (lesbian). Sedang
anak laki-laki tidak mendapat identitas maskulin, sukar mengadakan hubungan
yang dekat dengan perempuan dan sukar menumbuhkan rasa cinta pada perempuan.
Mereka takut melakukan itu dan merasa lebih aman mendekati laki-laki. Keadaan
ini mudah membuat dia menjadi homoseksual (gay).
(Mengutip dari kolom Kompas CyberMedia
mengenai konsultasi psikologi : Takut Jadi Homoseksual yang diasuh oleh Leila
CH Budiman)
Dari uraian diatas , proses yang terjadi dapat dianalogikan
demikian:
a.
Anak
akan melihat orang tua yang berjenis kelamin sama dengan dirinya sebagai
"kelompok jenisnya" dan anak adalah bagian dari "kelompok" ini.
b.
Anak
akan melihat orang tua yang tidak berjenis kelamin sama dengannya
sebagai "kelompok di luar jenisnya" dan anak bukanlah bagian dari
"kelompok" ini.
c.
Apa
yang dilakukan oleh orang tua yang tidak berjenis kelamin sama dengannya
terhadap orang tua yang berjenis kelamin
sama dengannya di-idiomkan dengan apa yang dilakukan oleh "kelompok di luar
jenisnya" terhadap "kelompok jenisnya" dimana ia termasuk sebagai bagian kelompok
ini; dan lebih jauh lagi hal ini diprediksi sebagai: gambaran apa
yang akan dilakukan oleh kaum wanita terhadap dirinya nanti
ketika ia menjalin hubungan dengan wanita (jika ia pria); dan apa yang
dilakukan oleh kaum pria terhadap dirinya
nanti ketika ia menjalin hubungan dengan pria (jika ia wanita).
Dalam kasus di atas jelas terlihat si anak
laki-laki merasa tidak nyaman terhadap ibunya yang terlalu dominan dan
memperlakukan ayahnya (yang adalah kelompoknya) secara tidak menyenangkan.
Tanpa disadari oleh anak, kejadian ini seakan terekam dalam ingatannya dan
dijadikan sebagai contoh bagaimana wanita
akan memperlakukan dirinya nanti seandainya ia membina hubungan dengan
wanita, dan ia sama sekali tidak mengingkan hal seperti demikian terjadi pada
dirinya. Pada akhirnya ia jadi merasa lebih nyaman dan aman untuk berhubungan
dengan kelompok jenisnya sendiri.
Demikian sebaliknya yang terjadi pada anak perempuan.
Melakukan hubungan homoseksual yang bukan murni
didasari oleh orientasi homoseksual (ketertarikan yang bersifat romantis)
melainkan karena dimotivasi oleh rasa tergantung terhadap sesama jenis dan
kebutuhan akan power (kuasa) disebut pseudohomoseksual (pseudohomosexual). The pseudohomosexual type is equated with
"latent" or "unconscious" homosexuality9. Seorang pseudohomoseksual meyakini bahwa dirinya lemah dan tidak
memiliki kuasa / kekuatan untuk dapat memenuhi kebutuhannya dan meraih apa yang
diinginkannya sendirian. Karena itu ia mencari seseorang yang dapat dijadikannya
sebagai pegangan, sebagai tempatnya berlindung dan bergantung. Dengan latar
belakang pengalaman hidupnya, ia menemukan kenyamanan dan rasa aman ketika
berhubungan dengan sesama jenisnya. Oleh karena itu seorang pseudohomosexual
menjadi dependent kepada sesama
jenisnya.
Sementara dalam kasus orang tua yang homoseksual,
anak secara nyata dihadapkan pada sebuah fakta akan adanya hubungan
homoseksual, dan hubungan demikian memang mungkin terjadi. Apabila hubungan
diantara orangtua homoseksual tidak mengalami masalah dalam artian hubungan
mereka baik-baik saja malah mungkin
nampak harmoni, maka homoseksual dapat terjadi karena anak melakukan modelling terhadap orang tuanya.
D. Kekerasan
seksual / Penderaan seksual / Sexual abuse & Pengalaman traumatik
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang
tidak bertanggung jawab terhadap orang lain yang berjenis kelamin sama adalah
salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual. Banyak hal yang
dapat membuat seseorang melakukan kekerasan seksual semacam ini, antara lain:
*
Hasrat
seksual / nafsu
*
Pelampiasan
kemarahan / dendam
*
Ajang
ngerjain orang, seperti: perploncoan
dari senior kepada yunior, nge-bully teman
yang culun, dan sejenisnya
Pada dasarnya semua
orang yang melakukan hubungan seksual terhadap orang lain tanpa adanya persetujuan dari orang tersebut
sudah termasuk ke dalam kategori melakukan kekerasan seksual.
Seperti apa bentuk
kekerasan seksual yang dilakukan sangat bervariasi. Mulai dari memegang alat
kelamin sesama jenis, menginjak-injak, memaksa untuk melakukan sesuatu hal
terhadap alat kelaminnya sendiri maupun alat kelamin si pelaku, hingga
menggunakan alat-alat tertentu sebagai media dalam melakukan kekerasan seksual.
Kekerasan seksual
seperti ini menempatkan korban dalam sebuah situasi yang sangat ekstrim tidak
menyenangkan, mengancam jiwa, tidak aman, meresahkan, kacau, dan membingungkan.
Ini menjadi sebuah pengalaman traumatik dalam diri korban. Pengalaman demikian
dapat mengganggu kondisi psikologis korban. Ia berusaha untuk menghindari
ingatan mengenai kejadian tersebut yang membuatnya sangat tidak nyaman dan
sangat terluka / "sakit". Setiap hal
yang memicu ingatannya terhadap kejadian tersebut membuatnya menjadi sangat
resah, kadang muncul rasa marah, dan seringkali baik disadari maupun tanpa
disadari korban melakukan upaya untuk merusak / "menyakiti" dirinya sendiri.
Ini dinamakan trauma psikologis.
Pengalaman
traumatik tidak hanya terbatas pada mengalami kekerasan seksual, melihat
seorang yang melakukan kekerasan seksual ataupun melakukan hubungan homoseksual
juga dapat menjadi sebuah pengalaman traumatik bagi seseorang.
Demikianlah
terdapat 4 buah faktor lingkungan yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual,
yaitu: budaya / adat istiadat; pola asuh; figur orang yang berjenis kelamin
sama; dan kekerasan seksual & pengalaman traumatik.
Keempat faktor ini mempengaruhi
perkembangan psikologis dan pandangan / sikap seseorang terhadap sosial yang
dapat disingkat dengan istilah perkembangan psikososial. Julie C. Harren
mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan ini
dikombinasikan dengan temparamen genetik yang mempengaruhi persepsi, secara keseluruhan akan menumbuhkan /
membentuk homoseksual.
Bagaimana keempat
faktor tersebut dapat mempengaruhi terbentuknya homoseksual, Sativoner
menjelaskan demikian:
I explain that children look first to their
same-sex parent and then to same-sex peers to form their own identity: to
understand how they measure up, how they fit in, what value they have as male
or female, what it means to be male or female, etc. When children do not form
healthy same-sex bonds and their needs for same-sex connection go unmet, these
needs do not go away; they simply intensify or take on another form. Typically,
near puberty, these unmet needs take on a sexual form, the emotional needs
become sexualized (Satinover, 199610).
Saya
menjelaskan bahwa anak-anak pertama-tama akan melihat pada orang tua
yang berjenis kelamin sama dengan dirinya dan kemudian melihat pada teman-teman
bermain yang berjenis kelamin sama dengan dirinya untuk membentuk identitas
dirnya sendiri: untuk mengerti bagaimana mereka bisa menjadi seperti mereka /
memenuhi standard, menyesuaikan diri, apa saja nilai-nilai yang mereka miliki
sebagai pria ataupun wanita, apa yang sebenarnya dimaksud dengan menjadi pria
ataupun wanita, dan sebagainya. ketika pada
anak-anak tidak terbentuk ikatan yang sehat dengan sesama jenis kelamin
mereka dan kebutuhan mereka akan hubungan bersama sesama jenis kelamin tidak
terpenuhi, maka kebutuhan ini tidaklah pergi; kebutuhan ini malah semakin
meningkat atau mengambil bentuk lain. Khususnya, mendekati masa puber,
kebutuhan yang tak terpenuhi ini mengambil bentuk seksual, kebutuhan emosional
beralih menjadi seksual (Satinover, 1196).
Sativoner
menjelaskan bagaimana berlangsungnya proses homoseksual pada anak-anak,
kemudian yang menjadi pertanyaan bagaimana proses yang terjadi pada orang
dewasa? Pada orang yang terbentuk
menjadi homoseksual setelah dewasa, faktor lingkungan yang paling besar
kemungkinan mempengaruhinya adalah kekerasan seksual dan pengalaman traumatik.
Seperti telah sedikit dikemukakan di atas bahwa pengalaman traumatik membawa
pada trauma psikologis, demikianlah juga yang terjadi pada korban dewasa.
Alih-alih mereka berusaha menghindari sensasi dari pengalaman tersebut malah
seringkali ketika mereka sedang sendiri, pengalaman dan sensasi tersebut muncul
dan membayang-bayangi diri mereka, demikian juga dalam mimpi. Reaksi setiap
orang atas hal ini tentulah berbeda-beda tergantung pada jenis kekerasan
seksual yang dilakukan dan tergantung pula pada pribadi orang tersebut. Korban
kekerasan seksual yang akhirnya menjadi homoseksual pada umumnya mereka
merasakan "sakit", juga mungkin merasakan "jijik" , kecewa, dan marah. Namun
mereka juga teringat akan sensasi yang dirasakan ketika kejadian tersebut
terjadi dan timbullah hasrat dalam diri mereka untuk merasakan kembali sensasi
tersebut. Dorongan inilah yang membuat mereka mencoba-coba dan akhirnya
merasakan kenyamanan hingga terbentuk menjadi homoseksual. Namun tidak menutup
kemungkinan adanya penjelasan lain dalam kasus terbentuknya homoseksual pada
orang dewasa.
3.
Interaksi
antara biologis dan lingkungan
Penelitian yang
dilakukan tidak pernah secara pasti menyatakan bahwa seseorang dilahirkan
sebagai homoseksual. Dalam faktanya, penelitian
yang dilakukan mengindikasikan adanya banyak faktor, termasuk
kemungkinan faktor biologis dan lingkungan yang berkontribusi terhadap
orientasi homoseksual (LeVay, 199611; Whitehead & Whitehead, 199912).
Beberapa pihak mengatakan bahwa dengan menerima
faktor lingkungan sebagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual
berarti hendak menyatakan bahwa kaum homoseksual memilih untuk menjadi
homoseksual. Pernyataan ini dicapai dengan didasarkan pada sebuah pemikiran
bahwa pada dasarnya manusia itu diberikan kehendak bebas untuk memilih dan menentukan jalan hidup mereka sendiri. Dengan
demikian meskipun lingkungan dapat melakukan segala sesuatu, menciptakan
situasi dan kondisi tertentu, dan mempengaruhi seseorang namun keputusan
tetaplah berada di tangan orang tersebut untuk memilih. Maka muncullah sebuah
pernyataan bahwa homoseksual adalah hasil sebuah pilihan yang dibuat oleh diri
sendiri.
Sementara dari sisi faktor biologis, dengan
menerima faktor biologis sebagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya
homoseksual berarti hendak menyatakan bahwa kaum homoseksual terlahir dan dipilih sebagai
homoseksual. Pernyataan ini dicapai dengan didasarkan pada sebuah pemikiran
bahwa manusia lahir dengan kondisi genetik, otak, hormon, dan sususan syaraf
tertentu yang telah diberikan oleh-Nya demikian adanya. Mereka tidak memilih untuk memiliki rangkaian genetik,
otak, hormon, dan susunan syaraf tertentu yang dapat menjadikan mereka homoseksual. Kaum homoseksual tidak memilih untuk
menjadi homoseksual. Mereka lahir dengan kondisi demikian, mereka dipilih
sebagai homoseksual.
Kedua pemikiran ini nampak saling bertolak
belakang, satu di ekstrim kanan dan satu lagi di ekstrim kiri. Julie C. Harren
membawa sebuah pemikiran baru dalam menyikapi hal ini bahwa lingkungan turut berperan dalam membentuk
homoseksual. Lingkungan turut mengambil bagian dan bukan semata-mata
pilihan dari seseorang untuk menjadi homoseksual. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan seseorang (faktor lingkungan) dikombinasikan dengan
temparamen genetik (faktor biologis) yang mempengaruhi persepsi,
maka secara keseluruhan akan menumbuhkan / membentuk homoseksual.
Dengan demikian, untuk yang memandang homoseksual
sebagai pengaruh dari faktor biologis, bahwa seorang homoseksual dipilih
sebagai homoseksual nampaknya homoseksual bukan menjadi harga mati. Sementara untuk yang memandang homoseksual sebagai
pengaruh lingkungan, bahwa seorang homoseksual memilih untuk menjadi
homoseksual nampaknya perlu mengembangkan sikap lebih toleran, menghargai,
berempati, dan kindness terhadap
homoseksual, tidak semata-mata menghakimi dan mengecam - karena lingkunganpun
turut berperan dan turut ambil bagian dalam membentuk homoseksual.