Bermain Dengan Anak
Masa anak-anak adalah masa di mana mereka belajar mengenal dunia lewat
bermain. Bermain menjadi sarana sekaligus jembatan antara apa yang ada dalam
alam fantasi mereka dengan apa yang (bisa) mereka wujudkan. Anak tidak melihat
permainan sebagai "bermain" sebagaimana orang tua atau orang dewasa
menganggap bermain adalah sesuatu yang tidak riil. Anak-anak yang lebih kecil
menganggap bermain adalah sebuah realita seperti halnya orang dewasa bekerja,
bersekolah, membereskan rumah, dsb. Bermain adalah dunia dimana mereka berada
dan memberi makna terhadap segala sesuatu yang mereka hadapi dalam permainan
itu.
Dalam acara bermain, anak-anak bisa belajar mengenali apa yang bisa
mereka lakukan sendiri dan mana yang perlu bantuan orang tua. Anak-anak belajar
mengukur kemampuan diri dan mengukur tantangan yang ada. Bahkan menurut
penelitian yang dilakukan Lewis (2000), anak-anak usia 1-6 tahun belajar
mengembangkan kemampuan problem solving dari bermain; karena bermain
menghadirkan berbagai konteks dan situasi yang harus mereka hadapai on the
spot. Lewat bermain, anak menemukan cara-cara kreatif dan unik dalam mengatasi
masalah.
Sebenarnya jika diringkas, banyak sekali manfaat bermain bagi anak,
selain yang sudah disebutkan di atas. Sebuah studi yang dilakukan dalam kurun
waktu bertahun-tahun menemukan anak yang ketika kecil (usia 4 tahun) gemar
bermain blocks atau lego, ketika SMA memperlihatkan kemampuan
matematika yang lebih tinggi.
Problem Dalam Bermain
Dewasa ini, bermain menjadi kurang bermakna dan kurang manfaatnya, dan
bahkan terlalu banyak kerugiannya. Apakah yang salah dengan bermain ini ?
1. Tidak jelas tujuannya Kita sering menjumpai anak-anak yang
bermain just for killing time, menghabiskan waktu, entah karena kurang
kegiatan atau menunggu orang tua, supir atau jemputan. Masalahnya, permainan
favorit untuk killing time adalah game atau sejenisnya yang
tersedia di handphone atau smartphone, ipad, dst. Ada yang
baik, tapi lebih banyak yang destruktif, seperti game yang berdarah-darah,
pukul-pukulan, tembak-tembakan, yang membuat pemainnya puas kalau sudah bisa
membunuh sebagai solusi satu-satunya dan mendapat reward yang paling
besar.
Dalam Journal of Adolescence 27 (2004) 5-22 memuat hasil penelitian
dampak hostile video game terhadap remaja. Sebagai permainan yang
"paling digemari" abad ini, game yang hostile ternyata
membuat remaja lebih hostile, agresif dan kasar, dalam berargumentasi
dengan guru/authority figure dan lebih sering terlibat perkelahian fisik
serta membuat prestasi belajar memburuk. Fenomena di Indonesia dewasa ini,
anak-anak kecil usia sekolah dasar bahkan TK sudah di expose oleh
permainan-permainan hostile lewat game dan TV. Dengan
temuan itu, dapat dibayangkan bagaimana jadinya anak-anak masa depan kita.
2. Tidak sesuai medianya dan kebutuhan anak
Kita lihat banyak beredar game yang tidak peduli kategori usia,
yang penting laku keras. Padahal, permainan hostile itu untuk dewasa.
Sama halnya dengan tontonan TV, meski pun itu film Popeye atau pun Mr Bean
bahkan Tom and Jerry, Sponge Bob, Bart Simpson, film-film tersebut
banyak menayangkan plot, alur cerita, atau kejadian yang tidak cocok
dikonsumsi anak-anak kecil yang dalam proses pembentukan nilai. Film-film itu
sebenarnya miniatur orang dewasa, sehingga alhasil anak-anak benar-benar
menjadi miniatur orang dewasa karena meniru tokoh kartun di TV yang dibuat ala
pikiran (dan delinquency-nya) orang dewasa.
3. Tidak ada engagement atau keterlibatan
Kerap terjadi, anak-anak disuruh bermain dan diberi permainan agar tidak
mengganggu atau merepotkan orang dewasa/orangtua. Ada orangtua yang enggan
bermain dengan anak, karena sibuk, atau tidak nyambung dengan anaknya karena
perbedaan dunia yang tak (mau) diselami.
Baby sitter atau mbak, tidak selalu jenis yang mau dan mampu
menyelam ke dalam dunia anak, karena sebagian menganggap tugas utama adalah
menjaga dan melayani dalam arti harafiah. Ketika permainan dilakukan tidak
dengan hati, maka proses bermain menjadi lebih hambar. Dalam kehambaran itulah,
tidak terbangun kepekaan dan empati yang sebenanarnya bisa diasah lewat
bermain. Alhasil anak mudah bosan dan mudah frustrasi. Sebaliknya, dalam
permainan yang engaging, akan ada diskusi dua arah yang membuka kemungkinan
solusi. Bermain mobil-mobilan, polisi-polisian, pemadam kebakaran,
masak-masakan, semua yang "biasa-biasa" bisa menjadi hidup dan
menarik jika pemainnya terlibat secara emosi dan tentunya, fantasi. Tanpa
keterlibatan jiwa raga, permainan mahal pun belum tentu mampu menghadirkan
makna dan dampak yang dasyat pada anak.
Edward Fisher seorang psikolog menemukan keterkaitan antara bermain
dengan perkembangan ketrampilan berbahasa. Ia menemukan bahwa bermain role
play, meningkatkan kemampuan kognitif-linguistik dan sosial afektif anak. Itu
sebabnya bermain dengan hati menjadi penting untuk menciptakan suasana bermain
yang hidup dan menyenangkan.
Kendala Anak Untuk Bermain
Beberapa hal yang sering menjadi kendala anak dalam bermain, adalah
kurangnya area bermain seperti tempat lapang dan rerumputan yang kini sangat
langka terutama bagi anak-anak perkotaan. Sarana permainan yang bisa dinikmati
dan dimanfaatkan publik pun hampir tidak tersedia, kecuali ke arena bermain di
mall dan harus membayar. Selain persoalan di atas, ada kendala yang lebih
krusial dan substansial karena kendala tersebut ada di hadapan mata dan terjadi
hampir setiap hari tanpa disadari oleh para orangtua. Kendala yang bisa
diistilahkan sebagai inhibitor, yakni :
1. Ketakutan orangtua
"Awas jatuh!", "Jangan, pokoknya nggak boleh
naik-naik", "awas bisa tergelincir lho". Banyak ungkapan
yang disuarakan orangtua ketika sedang bersama anaknya di tempat umum. Sikap
orangtua yang overprotective, membuat anak kurang percaya diri dan
tergantung. Kecemasan dan ketakutan orangtua terbaca oleh anak sebagai ekspresi
ketidakpercayaan mereka terhadap kemampuan anak mengatasi situasi saat itu.
Mekanismenya demikian, ketika orangtua tidak percaya pada anak, pada akhirnya
anak meragukan dan mempertanyakan kemampuan mereka. Selanjutnya, anak akan
membatasi diri sebelum mereka mengeksplorasi kemungkinan dan kesanggupan, before
they reach their upper limit. Inilah yang menjadi sumber inferioritas dan
rendahnya harga diri.
2. Nilai
Nilai yang dimiliki dan diyakini orangtua berpengaruh terhadap anak.
Sebagai contoh ada seruan "anak laki tidak boleh masa-masakan, nanti
jadi homo". Sementara konsep homo sendiri jauh dari jangkauan
pikiran anak-anak yang masih innocence. "Anak perempuan kokmanjat-manjat,
ayo turun, kamu bukan anak laki". Sebagian orangtua menganggap mendidik
anak harus keras dan anak harus dibatasi sebagaimana tradisi keluarga. Orangtua
ini akan menghalangi proses eksplorasi anak terhadap dirinya dan dunia serta
masa depannya.
3. Ego
"Jangan main di pantai, panas, nanti mama jadi hitam" atau
"Nonton acara mama saja, lebih seru daripada nonton kartun" atau
"Main sama Mbak sana, papa sedang sibuk nih, ini lebih penting
soalnya!". Tanpa disadari, kebutuhan dan keinginan orangtua berlomba
dengan kebutuhan anak, untuk direalisasikan. Situasi ini sebenarnya
mendudukkan orangtua menjadi kekanak-kanakan dan mendudukkan anak menjadi yang
lebih tua karena akhirnya anaklah yang mengalah demi orangtua.
Apa yang akan terjadi ?
Jika dibiarkan, proses learning by doing and experiencing menjadi
terhambat karena terkendala berbagai hal. Sementara, ada banyak tugas
perkembangan yang harus dijalankan oleh anak-anak kita dalam rangka
pengembangkan berbagai komponen yang sangat krusial bagi proses pertumbuhan,
kematangan dan keberhasilan hidup mereka di masa mendatang. Komponen tersebut
adalah :
Kemampuan survival, yakni kemampuan untuk bertahan dan keluar
sebagai pemenang dalam kehidupan, mampu mengendalikan kehidupan dan tidak
membiarkan diri menjadi korban keadaan.
Kemampuan empati, kemampuan untuk memahami keadaan, perasaan, kesulitan,
keterbatasan dan kemanusiaan orang lain, sebagaimana ia memahami dirinya
sendiri
Kemampuan mengelola emosi, yakni kemampuan mengolah perasaan, hingga
mempunyai kepekaan rasa dan ketajaman intuisi
Kemampuan beradaptasi, kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan
sekitar maupun hal-hal baru
Kemampuan bertumbuh, kemampuan untuk terus mencari dan melakukan
pertumbuhan, untuk keluar dari rasa nyaman (comfort) untuk menemukan sesuatu yang
lebih baik.
Kemampuan recovery dan rekonstruksi, kemampuan bangkit dari
kegagalan, belajar dari kegagalan maupun memperbaiki kesalahan
Kemampuan mencari yang hakiki, mencari keutamaan sejati, kemampuan untuk
membedakan, apa yang terutama dan utama dalam hidup ini, apa yang menjadi
impian dan panggilan hidupnya kelak.
Kemampuan membangun nilai infrastruktur, kemampuan untuk mengadopsi dan
menginternalisasi nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi dalam bersikap dan
bertindak.
Solusi Bermain Dengan Asik
Sampai kapanpun, anak akan membutuhkan bermain, oleh karenanya, tantangan
untuk menghadirkan permainan dan waktu bermain yang berkualitas adalah
tantangan bagi orangtua modern. Solusi untuk bermain di jaman modern ini
tidaklah terlalu sulit untuk dijalankan meskipun terkendala arena maupun
sarana. Semua itu adalah nomer 2, yang terpenting adalah keterlibatan orangtua
(dan pengasuh), hubungan yang terjalin antara orangtua dengan anak serta
kreativitas orangtua atau pengasuhnya dengan anak yang diajak bermain. Pada
dasarnya semua anak kreatif, namun orang dewasa kerap kehilangan kreativitas
dan kehilangan minat serta daya fantasi untuk bermain mengikuti irama anak. Ada
beberapa prasyarat untuk mengupayakan terjadinya permainan yang seru dan
berkualitas :
Lepaskan keinginan "Jaga Image". Jaga image memperbesar
jarak dengan anak sehingga tidak terjadi chemistry yang membuat
suasana bermain menjadi hidup.
Lepaskan idealism dan judgment. Idealisme dan judgment membuat kita
cenderung menilai segala sesuatu dan akhirnya kehilangan minat untuk bermain
karena segala sesuatu diukur pakai kaca mata penilaian dan "apa kata orang
lain"
Berusahalah. Banyak permainan murah dan asik bisa dilakukan
jika kita sebagai orang dewasa mau mengupayakannya terlebih dahulu. Misalnya,
ingin bermain sambil melakukan percobaan sederhana di rumah, maka orangtua atau
pendamping perlu menyiapkan bahan-bahannya, dengan dibantu oleh anak agar
keterlibatan itu terbangun sejak awal. Tanpa usaha, maka permainan yang murah
dan mendidik tidak akan terwujud.
Bergeraklah. Banyak permainan sederhana yang bisa terwujud jika kita mau
bergerak. Persoalannya dewasa ini orang dewasa cenderung malas bergerak, namun
lebih banyak menghabiskan waktu pada komputer, handphone maupun
televisi atau smartphonelainnya.
Biasakanlah. Buatlah agar bermain dengan anak menjadi sebuah kebiasaan
dan kebutuhan kedua belah pihak. Ikatan emosional akan terjalin dengan
sendirinya ketika kita memberikan diri kita sepenuhnya sebagaimana anak-anak
memberikan diri mereka sepenuhnya pada "that very moment". Ikatan itu
lah yang akan membuat hubungan orangtua-anak menjadi hubungan yang terbuka dan
saling menghargai, saling mengerti dan mendukung; orangtua dan anak adalah satu
team.
Beberapa jenis permainan yang solutif
Membuat percobaan ilmiah yang sederhana, dengan bahan-bahan yang tersedia
di rumah. Permainan percobaan ini tidak hanya menyenangkan tapi juga mendidik.
Bermain instrument musik dengan perlengkapan dapur atau
benda-benda yang aman lainnya. Membuat sendiri alat music juga menyenangkan dan
bisa digunakan terus menerus.
Bermain bowling dengan botol bekas dan bola
Bermain basket dengan ember digantung dan bola yang ringan
Bermain bulu tangkis
Tebak kata maupun teka-teki
Bermain peran seperti pemadam kebakaran, piknik ke kebun binatang, polisi
penjaga pantai, polisi lalu lintas, little chef, dsb
Bermain lego, catur, ular tangga dan monopoli serta permainan sejenis
lainnya. Kita bisa membuat sendiri ular tangga atau monopoli dengan
tantangan yang lebih menarik.
Treasure hunting, dengan menggambar peta sendiri dan menyembunyikan
beberapa harta karun di sudut-sudut rumah.. Permainan ini bisa dimainkan secara
kelompok, cocok untuk liburan atau pesta.
Membuat kue, yang tidak membutuhkan api dan kompor, atau dibantu orang
dewasa pada saat memanggangnya
Art and craft dengan bahan bekas, misal kotak tissue yang tak terpakai,
daun kering, dsb
Bercocok tanam di polybag dan memelihara tanaman maupun binatang
peliharaan
Bermain dengan kaca pembesar untuk melihat benda-benda lebih dekat
Bermain lompat tali atau permainan tradisional seperti congklak, bola
bekel, dsb
Bermain outdoor seperti berenang, sepeda, sepatu roda, skate
board, hingga latihan memanjat pohon (jika masih ada pohon yang bisa dipanjat).
Banyak permainan yang bisa dilakukan, namun semua membutuhkan usaha dan
kemauan terutama dari pihak orangtua atau pengasuh. satu hal yang perlu
diketahui pula, bahwa pada dasarnya jika orangtua ikut berpartisipasi dalam
permainan anak-anak mereka, orangtua juga akan merasakan manfaat yang besar
bagi tubuh dan jiwa mereka. Bermain bagi orang dewasa juga bermanfaat untuk
merevitalisasi kembali energi, mengobati stress, menumbuhkan kreativitas,
harapan dan impian, mengatasi rasa kesepian dan kesedihan, serta meningkatkan
daya tahan menghadapi tekanan dan kehidupan. Masih banyak manfaat bermain
lainnya bagi orang dewasa. Oleh karenanya, bagi siapapun yang masih mempunyai
anak kecil di rumah, bermainlah bersama agar chemistry yang terjalin
membangun energy positif bagi kedua pihak dan membangun karakter anak yang
lebih percaya diri dan positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar